For the First Time
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kita tidak pernah tau, apa yang telah direncanakan Dia dan Sang Waktu;
untuk bertemu di suatu titik tempat dan waktu.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Part 1
***
Tik, tok. Entah sudah
berapa lama aku duduk disini, menikmati hidangan dan mengucap kalimat untuk
yang berbahagia: Happy Sweet Seventeen!
bersama tamu-tamu undangan yang kini telah beranjak pergi. Sebenarnya aku
bukanlah penggemar pesta yang ramai nan bising. Kalau saja bukan Sashi yang
berulang tahun, terima kasih, aku tidak akan datang.
Mencoba mengabaikan
kantuk, aku memperhatikan sekeliling; dinding bata putih dengan lantai dan perabot serba kayu. Di sekitarnya dikelilingi pagar taman putih yang membatasi ruangan dengan berbagai bunga-bungaan. Penerangan chandelier-nya kuning muram, di sudut cafe terdapat couch bulu angsa yang nyaman. Dilengkapi
menu makanan-minuman yang harganya sedikit kurang masuk akal, memang, Sashi
suka sekali tempat-tempat hype seperti
ini.
Meja demi meja yang
tadinya ditempati sebagian dari kami kini berganti dengan pengunjung yang
berdatangan. Sampai ketika gerombolan—atau tepatnya sekumpulan—lelaki datang
dan duduk persis di depan mejaku. Mulanya aku tidak begitu memperhatikan, untuk
apa juga memperhatikan kumpulan itu? Pada akhirnya, aku juga tidak mengerti kenapa
tiba-tiba tertarik untuk sedikit mencuri lihat ke arah mereka. Hmm,sebagian
besar menggunakan baju hitam-hitam, tapi ada satu yang berjaket merah, dan
tentu saja terlihat mencolok.
Dan kini ia menatap
kesini. Sorot kedua matanya, tepat menusuk bola mataku.
Duh.
***
London Int’l School,
keesokan harinya.
Tatjana menghempaskan
dirinya ke bangku. Shoulder bag-nya
ia letakkan begitu saja di atas meja. Beginilah Tatja, setelah menghadiri pesta
semalam suntuk. Berbeda sekali dengan teman-teman sekelas yang masih ramai
membicarakan kerennya party Sashi kemarin malam.
“Nape tuh sepupu lo satu? Phobia partynya kumat?” bisik Sashi,
sambil melanjutkan ritual kudu bin wajib tiap pagi: ngemil coklat.
“Kali. Nggak ngerti deh
gue. Abisan dari semalem dia diem mulu. Gue biarin aja deh, ntar kalo-kalo PMS
gue yang kena cakar.” Canda Damian, ikutan nyomot truffles Lindt milik
Sashi.
“Kadang gue ga abis pikir
deh, kok bisa ya Tatja ga suka ramenya party gitu? Padahal kalo diliat-liat,
pebalet kayak dia yang notabene sering pentas pasti kebiasa sama
hingar-bingar kan, Ian.”
Damian menghela nafas.
“Yah, she had her own reasons, lady. Btw,
gue balik kelas ye, thanks coklatnya!”
Sashi melongo, kemudian
sadar, kini dalam kotak coklatnya hanya tersisa 3 butir saja. “Dasar Damian
bangke.” Dia beranjak dari tempat duduknya, menghampiri Tatja yang sedari tadi
melamun. “Tja, gue masih ada coklat nih, lo mau ga? Tinggal 3 sih, abis dikutil
sama si bangke. Daripada lo suntuk terus, mending makan coklat, siapa tau
ngebantu balikin mood.”
Tatja tersenyum, sedikit
rileks. “Gue gapapa kali, Shi, efek semalem baru tidur jam 2 pagi ya begini. Thank you, anyway.”
“Yup. Gue tinggalin coklat
ini disini, ya kali lo butuh buat ganjel ngantuk waktu pelajaran Mr. Smith.”
Sashi mengerling, kembali ke tempat duduknya karena Mr. Smith sudah akan
memulai pelajaran.
Sepeninggal Sashi, Tatja
kembali in state of daydreaming;
teringat kejadian semalam. Ada apa dengan
gue sih sebenernya? gerutu Tatja tiap kali teringat sorot mata orang itu.
------------------------------------------------flashback---------------------------------------------------
Orang itu, bersama teman-temannya yang lain duduk tepat di depan
mejaku. Awalnya aku memang tidak tertarik untuk memperhatikan mereka-mereka
yang berbaju hitam, biasa saja. Tak lama, seorang lagi muncul dari pintu masuk,
bergabung dengan mereka. Saat dia berjalan tepat di sebelahku, merah jaketnya
tak sengaja tertangkap mataku. Dia, dengan begitu akrab merangkul
teman-temannya, dan seketika tertawa dengan suara yang tidak dapat aku dengar. Karena
penasaran, yah lebih tepatnya untuk mengabaikan kantuk, aku melirik ke arahnya.
Tepat pada saat itu, aku mendapatinya menatap ke arahku, sorot matanya—aneh,
aku tidak dapat mendeskripsikan. Rasanya seakan hanyut, untuk memalingkan wajah
pun terasa sangat berat.
“Tja,
lo jadi pulang kan bareng gue? Buru, gih!” teriak Damian.
Aku
mengangguk. Selamat. “Tunggu bentar.”
Dia—yang—berjaket—merah terlihat
sedikit bertanya-tanya, tapi lalu dengan segera memalingkan muka. Thanks to Damian! Aku menyandang
tas, kemudian menyusul Damian menuju parkiran.
----------------------------------------------end of flashback----------------------------------------------
No comments:
Post a Comment