August 17, 2012

{Part 1} For the First Time


For the First Time

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kita tidak pernah tau, apa yang telah direncanakan Dia dan Sang Waktu; 

untuk bertemu di suatu titik tempat dan waktu.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Part 1

***

            Tik, tok. Entah sudah berapa lama aku duduk disini, menikmati hidangan dan mengucap kalimat untuk yang berbahagia: Happy Sweet Seventeen! bersama tamu-tamu undangan yang kini telah beranjak pergi. Sebenarnya aku bukanlah penggemar pesta yang ramai nan bising. Kalau saja bukan Sashi yang berulang tahun, terima kasih, aku tidak akan datang.
            Mencoba mengabaikan kantuk, aku memperhatikan sekeliling; dinding bata putih dengan lantai dan perabot serba kayu. Di sekitarnya dikelilingi pagar taman putih yang membatasi ruangan dengan berbagai bunga-bungaan. Penerangan chandelier-nya kuning muram, di sudut cafe terdapat couch bulu angsa yang nyaman. Dilengkapi menu makanan-minuman yang harganya sedikit kurang masuk akal, memang, Sashi suka sekali tempat-tempat hype seperti ini.
            Meja demi meja yang tadinya ditempati sebagian dari kami kini berganti dengan pengunjung yang berdatangan. Sampai ketika gerombolan—atau tepatnya sekumpulan—lelaki datang dan duduk persis di depan mejaku. Mulanya aku tidak begitu memperhatikan, untuk apa juga memperhatikan kumpulan itu? Pada akhirnya, aku juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba tertarik untuk sedikit mencuri lihat ke arah mereka. Hmm,sebagian besar menggunakan baju hitam-hitam, tapi ada satu yang berjaket merah, dan tentu saja terlihat mencolok.
            Dan kini ia menatap kesini. Sorot kedua matanya, tepat menusuk bola mataku.
            Duh.

***

            London Int’l School, keesokan harinya.

            Tatjana menghempaskan dirinya ke bangku. Shoulder bag-nya ia letakkan begitu saja di atas meja. Beginilah Tatja, setelah menghadiri pesta semalam suntuk. Berbeda sekali dengan teman-teman sekelas yang masih ramai membicarakan kerennya party Sashi kemarin malam.
            “Nape tuh sepupu lo satu? Phobia partynya kumat?” bisik Sashi, sambil melanjutkan ritual kudu bin wajib tiap pagi: ngemil coklat.
            “Kali. Nggak ngerti deh gue. Abisan dari semalem dia diem mulu. Gue biarin aja deh, ntar kalo-kalo PMS gue yang kena cakar.” Canda Damian, ikutan nyomot truffles Lindt milik Sashi.
            “Kadang gue ga abis pikir deh, kok bisa ya Tatja ga suka ramenya party gitu? Padahal kalo diliat-liat, pebalet kayak dia yang notabene sering pentas pasti kebiasa sama hingar-bingar kan, Ian.”
            Damian menghela nafas. “Yah, she had her own reasons, lady. Btw, gue balik kelas ye, thanks coklatnya!”
            Sashi melongo, kemudian sadar, kini dalam kotak coklatnya hanya tersisa 3 butir saja. “Dasar Damian bangke.” Dia beranjak dari tempat duduknya, menghampiri Tatja yang sedari tadi melamun. “Tja, gue masih ada coklat nih, lo mau ga? Tinggal 3 sih, abis dikutil sama si bangke. Daripada lo suntuk terus, mending makan coklat, siapa tau ngebantu balikin mood.”
            Tatja tersenyum, sedikit rileks. “Gue gapapa kali, Shi, efek semalem baru tidur jam 2 pagi ya begini. Thank you, anyway.”
            “Yup. Gue tinggalin coklat ini disini, ya kali lo butuh buat ganjel ngantuk waktu pelajaran Mr. Smith.” Sashi mengerling, kembali ke tempat duduknya karena Mr. Smith sudah akan memulai pelajaran.
            Sepeninggal Sashi, Tatja kembali in state of daydreaming; teringat kejadian semalam. Ada apa dengan gue sih sebenernya? gerutu Tatja tiap kali teringat sorot mata orang itu.

------------------------------------------------flashback---------------------------------------------------

            Orang itu, bersama teman-temannya yang lain duduk tepat di depan mejaku. Awalnya aku memang tidak tertarik untuk memperhatikan mereka-mereka yang berbaju hitam, biasa saja. Tak lama, seorang lagi muncul dari pintu masuk, bergabung dengan mereka. Saat dia berjalan tepat di sebelahku, merah jaketnya tak sengaja tertangkap mataku. Dia, dengan begitu akrab merangkul teman-temannya, dan seketika tertawa dengan suara yang tidak dapat aku dengar. Karena penasaran, yah lebih tepatnya untuk mengabaikan kantuk, aku melirik ke arahnya. Tepat pada saat itu, aku mendapatinya menatap ke arahku, sorot matanya—aneh, aku tidak dapat mendeskripsikan. Rasanya seakan hanyut, untuk memalingkan wajah pun terasa sangat berat.
“Tja, lo jadi pulang kan bareng gue? Buru, gih!” teriak Damian.
            Aku mengangguk. Selamat. “Tunggu bentar.”
            Dia—yang—berjaket—merah terlihat sedikit bertanya-tanya, tapi lalu dengan segera memalingkan muka. Thanks to Damian! Aku menyandang tas, kemudian menyusul Damian menuju parkiran.


----------------------------------------------end of flashback----------------------------------------------

to be continued




No comments:

Post a Comment