RED VELVET CAKE
----------------------------------------------------------------------------------------------------Part 1
“Good
morning, Bandung!” seru seorang gadis. Seruannya sontak membuat beberapa
pasang mata menatapnya dengan bingung. Menyadari volume suaranya yang
berlebihan, sang gadis hanya membalasnya dengan senyum, tanpa rasa bersalah
sedikitpun. Seharusnya, setelah kurang lebih 20 jam perjalanan udara yang baru
saja ia tempuh menimbulkan efek jetlag.
Gadis itu harus melakukan beberapa kali transit (Bayangkan, dari Bandara Dulles-Los Angeles-Narita-Changi-Soetta-sampai
akhirnya, Bandung!), yang tentu saja menguras banyak energi. Apalagi,
selama setengah perjalanan ia habiskan dengan menangis.
Gadis itu, Lamaara Aradhana. Entah sudah berapa
tahun berlalu sejak terakhir kali Maara menginjakkan kakinya di Bandung. Selama
ini, dia menghabiskan masa kecilnya di Virginia, Amerika Serikat, bersama sang
nenek. Hidup jauh terpisah dari orangtuanya membuat Maara terbiasa mengurus
dirinya sendiri, dan tentu saja, menjaga neneknya yang sangat ia sayangi. Toh, tinggal sama Mama-Papa keadaannya nggak
akan jauh beda. Mereka pasti sibuk ngurusin kerjaan, pikir Maara.
Tapi semandiri apapun Maara, ia benar-benar merindukan rumah yang penuh kehangatan dari orangtua dan adiknya, Shylah Aradhana. Walaupun terpisah jarak (jarak ribuan kilometer dan umur), bukan berarti memisahkan kedekatan mereka. Maara dan Shylah selalu keep in touch, lewat Yahoo! Messenger, Skype, bahkan iseng bertukar surat atau paket. Seperti saat Valentine lalu, Maara mengirimkan floral dress Topshop untuk Shylah.
Tapi semandiri apapun Maara, ia benar-benar merindukan rumah yang penuh kehangatan dari orangtua dan adiknya, Shylah Aradhana. Walaupun terpisah jarak (jarak ribuan kilometer dan umur), bukan berarti memisahkan kedekatan mereka. Maara dan Shylah selalu keep in touch, lewat Yahoo! Messenger, Skype, bahkan iseng bertukar surat atau paket. Seperti saat Valentine lalu, Maara mengirimkan floral dress Topshop untuk Shylah.
Sambil mendengarkan For Pessimist, I’m Pretty Optimistic - Paramore lewat iPod
touch-nya, Maara berjalan, menarik 2 koper besarnya menuju pintu keluar Bandara
Internasional Hussein Sastranegara. Disana, dia melihat seorang gadis memakai dress floral Topshop yang tak asing. Tepat setelah itu, sang gadis menolehkan
kepalanya yang mungil dan melihatnya.
“Kak Maara!” seru sosok gadis semampai, rambut
hitam lurusnya yang digerai teracak dihembus angin tatkala ia berlari menuju
Maara.
“Shylah! Finally,
i’m home!” seru Maara, tak kalah heboh, memeluk Shylah dengan sayang.
“Yes, and
welcome to Bandung! Kakak nggak jetlag,
nih? Kok masih semangat aja?” Shylah tertawa.
“Harus semangat dong! Tapi... sekarang aja rasanya
aku pengen balik ke rumah Nenek, kalo-kalo nggak harus nempuh perjalanan
selama itu. By the way, mana Mama dan
Papa? Mereka nggak ikut jemput Maara?”
Shylah terdiam. Dalam raut mukanya tersirat sedikit kesedihan. “Yah, Kakak tau kan Mama-Papa
akhir-akhir ini sibuk sekali. Sebenarnya tadi pagi mereka udah siap-siap jemput
Kakak, tapi kemudian ada meeting mendadak
yang nggak bisa mereka tinggalin. Yuk Kak, kita pulang, biar Shylah bantu bawa
kopernya.”
Geez,
batin Maara gondok. Bahkan, demi jemput Maara aja Mama Papa
nggak sempet?
***
Walau masih sedikit kesal,
senyum manis terlukis di bibir kecil Maara. Ia tidak ingin merusak hari pertama
sekolah di Bandung. Pagi-pagi sekali, Maara sudah siap memakai seragam
sekolahnya di Virginia dulu, kemeja pendek putih berdasi dengan bordir keemasan
di sakunya. Rok highwaist pendek
merah hatinya sedikit berkibar diterpa angin. Rambutnya yang ikal kecoklatan digerainya
begitu saja. Tak lupa, ia memakai topi pet marun, serta stocking putih dan sepatu oxford hitam. Shylah sudah berangkat
mendahuluinya, ada jam ke-nol katanya.
Maara menghela nafas. Bahkan di hari pertama Maara harus berangkat sendirian, batinnya. Diraihnya tas bahu Topshopnya, dan dengan setengah berlari, Maara bergegas menuju mobil hitam yang sudah menunggunya.
Maara menghela nafas. Bahkan di hari pertama Maara harus berangkat sendirian, batinnya. Diraihnya tas bahu Topshopnya, dan dengan setengah berlari, Maara bergegas menuju mobil hitam yang sudah menunggunya.
***
Waktu telah berlalu, Maara
sudah selesai mengelilingi sekolah dengan beberapa Pengurus Kesiswaan.
Tidak ada yang lebih
menarik perhatiannya selain bangunan itu, yang dikelilingi kaca dan dinding
putih. Walaupun terlihat mendominasi, tidak ada kesan kotor sedikitpun.
Bangunan dua lantai—sepanjang yang bisa Maara lihat—lantai pertama berupa
foodcourt, dengan sofa-sofa coklat susu yang terlihat nyaman. Sedangkan di
lantai dua, entahlah, Maara tidak sempat mendongak untuk melihat karena para
Pengurus Kesiswaan harus menyelesaikan tugas utamanya dulu: mengenalkan Maara
tentang seluk-beluk area BIS ini.
Damita Askanah, salah satu
Pengurus Kesiswaan, sedari tadi menahan senyum menyadari Maara yang seringkali
kecolongan curi-curi pandang ke bangunan putih itu.
“Lamaara, ikut aku yuk. Hari ini kamu belum ada kelas kan?”
“Lamaara, ikut aku yuk. Hari ini kamu belum ada kelas kan?”
Maara mengernyit. “Kita
mau kemana, Kak Damita?”
“Ke tempat yang bikin kamu
nengok-nengok ke belakang terus.”
Maara tertawa.
“Yah, segitu jelasnya ya Maara bisa ditebak? Kalo
kesana, Maara mau banget!”
Giliran Damita yang tertawa. “Yaudah, buruan yuk.
Ntar kalo kelamaan disini, kamu bisa nggak puas ngerecokin orang-orang disana.”
***
Sampailah mereka berdua di depan bangunan putih
itu. Dari luar, sudah tercium aroma penganan yang sanggup membuat perut Maara
bergolak dan liurnya menari-nari, menyusup keluar dari mulutnya. Dengan cepat
dan bersemangat, Maara mengekori Damita memasuki gedung tersebut.
Dilihat-lihat, ternyata dindingnya dibuat dari
bata yang diaci dan dilapis semen putih, sehingga membuat pola khas menonjol di
keseluruhan permukaannya. Lantainya dilapisi parket, serat kayu kecoklatan
memberi nuansa hidup dan hangat. Lalu, berjejerlah kedai di setiap sisinya, kurang
lebih berukuran 2x2 meter persegi, terdapat tudung coklat dan nama kedai dari
ukiran kayu diatasnya. Di tengah ruangan, kursi dan meja bergaya vintage
berjejer rapi.
“Sebenarnya gedung ini adalah gedung khusus untuk
siswa jurusan kuliner, Maar, yang digabung sama cafetaria. Cafetaria di bawah,
kelasnya diatas. Kelas kuliner sendiri termasuk salah satu jurusan yang paling
diminatin di BIS, lho. Selama 3 tahun pengajaran, kalian nggak cuma diajarin
masak tapi juga bisnis kuliner dan food-photography.
Dan sebelum lulus kalian harus bikin project
khusus. Semacam persiapan kuliah gitu studinya. Rada berat sih, karena kamu
harus dobel sama kelas primer, tapi asiknya dijamin!” ujar Damita, masih
terkikik melihat tampang excited Maara.
“Hmm, pantesan di angket tadi ada 2 poin pilihan
kelas, jadi ini maksudnya ya Kak. So
next, shall we go upstairs? Maara boleh lihat kelas kulinernya, Kak?”
“Yuk. Aku denger mereka lagi garap project ultah sekolah. Mungkin Maara
tertarik?”
Dan mereka berduapun naik ke lantai dua. Disana,
mata Maara benar-benar dimanjakan. Oven-oven besar, meja luas, rapi dan bersih.
Benar-benar nyaman. Maara sempat melihat beberapa siswa lalu-lalang menggunakan
chapron coklat muda dengan bandana atau tutup kepala.
Maara sudah menyusun jadwal untuk esok pagi:
menandatangani angket penjurusan dengan tanda centang besar di kotak kelas
kuliner. Dengan mantap.
No comments:
Post a Comment