RED VELVET CAKE
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Part 2
Tak terasa, sudah seminggu Maara tinggal di Bandung. Dan ini merupakan hari pertama Maara bergabung dengan kelas kuliner. Beberapa hari belakangan ini memang Maara gunakan untuk mencari tahu tentang kelas itu, yang ternyata tiap siswanya diperbolehkan mengambil kelas macam kuliner tertentu; Maara memilih pastri.
Ya, ini Senin keduanya di Bandung. Maara sudah memakai seragam kebanggaan BIS: blazer biru laut dalam—dengan kemeja putih di dalamnya—rok pendek rimpelnya senada, tak lupa dengan pin BIS di kerah kemeja. Maara pun dengan segera merapikan rambutnya, memakai kaus kaki knee-length hitam, dan menalikan oxford coklatnya.
“Gawat, udah jam setengah tujuh! Shylaaaah! Tunggu!”
“Buruan, kak Maara! Semalem ngapain aja sih sampe telat bangun gini. Untung BIS nggak ada upacara hari ini.”
“Ada urusan. Kakak sarapan di mobil kamu aja deh, nggak papa kan? Keburu telat.”
Maaf, Shyl, batin Maara. Aku nggak bisa kasih tau kamu kalau aku bakalan masuk kelas kuliner. Nggak sekarang.
***
“Pagi semua. Hari ini kita kedatangan satu member baru, Lamaara Aradhana.
Dia akan bergabung dengan kelas pastri. Maara, untuk lebih jelasnya, kamu bisa bertanya dengan kelompok kerjamu, oke?” ujar Ms. Rika, nada bicaranya ringan dan cepat, walau begitu beliau sangat ramah. Maara tersenyum, berjalan menuju kelompoknya.
Kelompok Maara tergabung dari beberapa anak dari kelas yang berbeda, nama-nama yang bisa Maara ingat adalah: Sara, Pricil, Keenan, Aliah, dan Ren. Rainarlo Aldebaran. Oke, yang terakhir itu sebenarnya tidak ingin Maara ingat, tapi cara pandang dan caranya memperlakukan Maara benar-benar menyebalkan. Belum sempat Maara berbicara, Ren—Rainarlo—itu sudah menyemprot Maara,
“Ini bukan tempat main-main. Kalo lo nggak niat masak, jangan gabung. Kita nggak butuh anak manja.”
Senyum Maara seketika musnah. Matanya menyipit.
Geez, oke Maara emang nggak sejago itu, tapi bukan berarti Ren bisa jelek-jelekin seperti tadi.
Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Perempuan, matanya hangat dan senyumnya bersahabat. “Udah Maar, nggak usah dipikirin. Ren emang mulutnya pedes, apalagi sama anak baru. Cuekin aja. Oh iya, gue Pricil. Selamat bergabung di kelas kuliner. Semoga lo cocok sama kita-kita.” kata Pricil, tersenyum jail.
“Well, thanks, Pricil. Maara nggak papa kok, nggak penting. Jadi, hari ini agenda kita apa aja?”
“Hari ini, kita bakal diskusi buat acara ultah BIS, Maar. H-30 nih, dan kita dapet jatah buat menyuplai makanan buat hari itu. Seluruhnya, tentu.”
Maara meringis. Antara excited dan ngeri membayangkannya.
“Sorry, tapi gue nggak yakin bakal masukin dia di list koki, Cil. Kita belum liat segimana kemampuannya.” Suara dingin Ren menyela pembicaraan mereka.
“Ren!” seru Pricil, protes.
“Cil, itu acara gede! Tanggung jawab juga!” dengus Ren, dan ia kembali melanjutkan, “Heh anak baru, besok, tepat sepulang sekolah, tunjukin apa kemampuan lo. Buat masakan, apalah yang bisa lo buat tanpa bikin korban berjatuhan, gue tunggu disini. And fyi, gue leader sekaligus penanggung jawab bagian masakan di hari itu, jadi gue yang nentuin lo layak nggak masuk kandidat koki.”
“Oke, ketua atau apalah itu, besok Maara bakal datang dan Maara bakal tunjukin kalau Maara nggak seremeh itu!” balas Maara, tidak terima dia disepelekan.
“Kita liat besok.” kata Ren, tanpa melihat Maara sedikitpun. Gantian Maara mendengus.
Gondok.
***
Malamnya, Maara bingung setengah mati. Hari pertamanya di kelas kuliner memuakkan, tidak semua, bagian yang ada Ren-nya yang memuakkan, tentu. Sekarang, kamar mungilnya bak tersapu La Nina, semua barang berceceran disana-sini. Satu yang ia cari: catatan resep dari neneknya. Walaupun kesal, sebenarnya kata-kata Ren memukul telak Maara, ya, Maara tidak bisa masak. Maara tahu itu. Tapi karena itulah ia ingin bergabung dengan kelas kuliner, selain karena neneknya pula. Kalau gini sih, bukan ilmu yang didapat, disemprot iya, dengusnya, kesal. Setelah menemukan notes resep neneknya itu, Maara menghempaskan tubuhnya ke ranjang, jemari lentiknya menjelajah halaman demi halaman, mencari resep yang cukup sederhana dan bisa dibuatnya tanpa praktek dahulu, mengingat waktunya yang tidak memungkinkan. Tapi, harus resep yang tetap bisa menonjok perut Ren dan membuat mulutnya bungkam.
“AHAAAA!” serunya, menegakkan badan. Maara teringat satu-satunya resep yang dikuasainya: Red Velvet Cake. Nenek memang sangat sering membuat cake itu, dan hampir tiap saat Maara ikut membantu sang Nenek membuatnya. Sederhana, tapi cukup nikmat. Setidaknya, Maara yakin Red Velvet buatannya tidak akan mengecewakan.
Liat siapa yang akan tertawa besok, Rainarlo Aldebaran.
***
Sepulang sekolah, White Building.
Maara sudah mulai mengocok adonan sejak tadi. Panggangan di pojok ruangan juga sudah disetelnya tepat 350 derajat Fahenheit. Adonan merah marunnya kini sudah siap dituangkan dalam loyang bulat diameter 22 cm. Segera, Maara memasukkan loyang-loyang itu dengan hati-hati ke dalam panggangan.
Selagi menunggu adonannya matang, kurang lebih 20 menit lagi, Maara menyiapkan cream cheese frosting-nya. Nenek sering menasehatinya, ingat Maara, perbandingannya 2:1 untuk fresh cream dengan cream cheese. Tentu Maara tidak akan lupa. Dengan tangannya yang sedikit kagok memegang hand mixer, ia mulai mengocok creamnya. Setelah selesai, ia mengambil kue yang, ah, untunglah, matang tepat pada waktunya, menunggu sebentar agar tak terlalu panas, dan menyusunnya menjadi tumpukan layer tipis yang sarat cream. Layer merah marun terlihat kontras dengan creamnya yang putih lembut. Diatas cake, Maara menabur almond sangrai yang diiris tipis.
Maara berhenti sejenak untuk mengambil nafas, kemudian mengamati hasil karyanya. Bagus, pikirnya. Dipotongnya satu dan ditaruhlah kue itu diatas piring kecil, disodorkannya kepada Ren. Mata Ren menyipit. Walau begitu, Ren tetap menerimanya. Setelah satu suapan, Ren kembali meletakkan piring itu ke meja pantry.
“Oke. Lo masuk.”
***
Setelah melewati minggu-minggu sibuk bersama kelas kuliner yang menyebalkan (tentu Ren biang keroknya) dan menyenangkan; menyiapkan ini-itu yang mereka butuhkan untuk praktek, mencicipi dan menyeleksi masakan apa saja yang akan mereka hidangkan, akhirnya hari yang dinanti tiba juga. Hari ulang tahun BIS.
11 Oktober, semua berjalan lancar, dan penanggung jawab masakan sukses besar. Maara benar-benar excited, tidak menyangka Red Velvet Cake-nya menjadi primadona. Dan untuk pertama kalinya, Ren tersenyum pada Maara, mengacungkan jempolnya. Dari kejauhan, dia bisa menangkap apa yang diutarakan Ren:
“Kerja bagus, Lamaara Aradhana.”
***
Bertahun-tahun telah berlalu. Sekarang, Maara tidak menyangka bisa kembali menginjakkan kaki disini, bahkan bersekolah. Ya, sekarang Maara resmi menjadi salah satu murid CIA, Culinary Institute of America.
Kembali ke Amerika, setelah tahun-tahun sendunya berlalu, membangkitkan sedikit luka di hati Maara. Sejak Nenek meninggal, 4 tahun lalu, dia kembali ke Indonesia untuk mencari ketenangan dan akhirnya menemukan bahwa passion-nya tidak jauh-jauh meninggalkan sang nenek: memasak. Maara harus benar-benar berjuang untuk membujuk orangtuanya agar mengizinkan Maara menginjakkan kaki di Amerika lagi. Selama ini, orangtuanya dan Shylah, hanya mengkhawatirkannya jika Maara harus tinggal lebih lama di Amerika; sendirian.
Maara tidak menyangka, resep dari neneknya dan makanan favoritnya sejak kecil bisa menuntunnya sampai kesini. Oh, dan jangan lupa, thanks to Rainarlo Aldebaran, cecunguk satu itu juga berjasa besar, memaksanya untuk kembali mengingat-ingat dan memasak Red Velvet Cake.
Maara akan kembali berjuang. Ia ingin mewujudkan impian sang nenek, yang kini juga menjadi bagian dari impiannya.
Seperti kata neneknya, masakan tidak akan mengkhianati kokinya.
No comments:
Post a Comment