December 13, 2012

On my way

And now I'm dying to see you and pretend that I'm happy... I'm okay with all of this mess... Cause this pain is just too real. Maybe I just need more time for dealing with some part of myself, heart and soul; which still living in the past. Its time to get over it.
Entah sudah berapa lama, tawa dan tangis akan rindu terperangkap dalam satu fragmen hidupnya dan merangsek masuk, membiasakannya merasakan getir dan bahagia secara bersamaan. Dengan begitu, pikirnya, tercapailah keseimbangan. Tanpa harus menunggu kapan mereka akan singgah untuk sejenak, kemudian berlalu. Hidup ini tidak pasti. Karena, di seluruh hidup ini yang tidak berubah hanyalah: ketidakpastian.

August 24, 2012

In the middle of the night

Every time I close my eyes, humming Home by Michael Bublé, all I can see is... You. All I can feel is warmth. And all I can breathe is love. Its just the place where I do belongs; into your arms.

August 17, 2012

{Part 1} For the First Time


For the First Time

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kita tidak pernah tau, apa yang telah direncanakan Dia dan Sang Waktu; 

untuk bertemu di suatu titik tempat dan waktu.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Part 1

***

            Tik, tok. Entah sudah berapa lama aku duduk disini, menikmati hidangan dan mengucap kalimat untuk yang berbahagia: Happy Sweet Seventeen! bersama tamu-tamu undangan yang kini telah beranjak pergi. Sebenarnya aku bukanlah penggemar pesta yang ramai nan bising. Kalau saja bukan Sashi yang berulang tahun, terima kasih, aku tidak akan datang.
            Mencoba mengabaikan kantuk, aku memperhatikan sekeliling; dinding bata putih dengan lantai dan perabot serba kayu. Di sekitarnya dikelilingi pagar taman putih yang membatasi ruangan dengan berbagai bunga-bungaan. Penerangan chandelier-nya kuning muram, di sudut cafe terdapat couch bulu angsa yang nyaman. Dilengkapi menu makanan-minuman yang harganya sedikit kurang masuk akal, memang, Sashi suka sekali tempat-tempat hype seperti ini.
            Meja demi meja yang tadinya ditempati sebagian dari kami kini berganti dengan pengunjung yang berdatangan. Sampai ketika gerombolan—atau tepatnya sekumpulan—lelaki datang dan duduk persis di depan mejaku. Mulanya aku tidak begitu memperhatikan, untuk apa juga memperhatikan kumpulan itu? Pada akhirnya, aku juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba tertarik untuk sedikit mencuri lihat ke arah mereka. Hmm,sebagian besar menggunakan baju hitam-hitam, tapi ada satu yang berjaket merah, dan tentu saja terlihat mencolok.
            Dan kini ia menatap kesini. Sorot kedua matanya, tepat menusuk bola mataku.
            Duh.

***

            London Int’l School, keesokan harinya.

            Tatjana menghempaskan dirinya ke bangku. Shoulder bag-nya ia letakkan begitu saja di atas meja. Beginilah Tatja, setelah menghadiri pesta semalam suntuk. Berbeda sekali dengan teman-teman sekelas yang masih ramai membicarakan kerennya party Sashi kemarin malam.
            “Nape tuh sepupu lo satu? Phobia partynya kumat?” bisik Sashi, sambil melanjutkan ritual kudu bin wajib tiap pagi: ngemil coklat.
            “Kali. Nggak ngerti deh gue. Abisan dari semalem dia diem mulu. Gue biarin aja deh, ntar kalo-kalo PMS gue yang kena cakar.” Canda Damian, ikutan nyomot truffles Lindt milik Sashi.
            “Kadang gue ga abis pikir deh, kok bisa ya Tatja ga suka ramenya party gitu? Padahal kalo diliat-liat, pebalet kayak dia yang notabene sering pentas pasti kebiasa sama hingar-bingar kan, Ian.”
            Damian menghela nafas. “Yah, she had her own reasons, lady. Btw, gue balik kelas ye, thanks coklatnya!”
            Sashi melongo, kemudian sadar, kini dalam kotak coklatnya hanya tersisa 3 butir saja. “Dasar Damian bangke.” Dia beranjak dari tempat duduknya, menghampiri Tatja yang sedari tadi melamun. “Tja, gue masih ada coklat nih, lo mau ga? Tinggal 3 sih, abis dikutil sama si bangke. Daripada lo suntuk terus, mending makan coklat, siapa tau ngebantu balikin mood.”
            Tatja tersenyum, sedikit rileks. “Gue gapapa kali, Shi, efek semalem baru tidur jam 2 pagi ya begini. Thank you, anyway.”
            “Yup. Gue tinggalin coklat ini disini, ya kali lo butuh buat ganjel ngantuk waktu pelajaran Mr. Smith.” Sashi mengerling, kembali ke tempat duduknya karena Mr. Smith sudah akan memulai pelajaran.
            Sepeninggal Sashi, Tatja kembali in state of daydreaming; teringat kejadian semalam. Ada apa dengan gue sih sebenernya? gerutu Tatja tiap kali teringat sorot mata orang itu.

------------------------------------------------flashback---------------------------------------------------

            Orang itu, bersama teman-temannya yang lain duduk tepat di depan mejaku. Awalnya aku memang tidak tertarik untuk memperhatikan mereka-mereka yang berbaju hitam, biasa saja. Tak lama, seorang lagi muncul dari pintu masuk, bergabung dengan mereka. Saat dia berjalan tepat di sebelahku, merah jaketnya tak sengaja tertangkap mataku. Dia, dengan begitu akrab merangkul teman-temannya, dan seketika tertawa dengan suara yang tidak dapat aku dengar. Karena penasaran, yah lebih tepatnya untuk mengabaikan kantuk, aku melirik ke arahnya. Tepat pada saat itu, aku mendapatinya menatap ke arahku, sorot matanya—aneh, aku tidak dapat mendeskripsikan. Rasanya seakan hanyut, untuk memalingkan wajah pun terasa sangat berat.
“Tja, lo jadi pulang kan bareng gue? Buru, gih!” teriak Damian.
            Aku mengangguk. Selamat. “Tunggu bentar.”
            Dia—yang—berjaket—merah terlihat sedikit bertanya-tanya, tapi lalu dengan segera memalingkan muka. Thanks to Damian! Aku menyandang tas, kemudian menyusul Damian menuju parkiran.


----------------------------------------------end of flashback----------------------------------------------

to be continued








 
 

Part 2: Lamaara Aradhana

RED VELVET CAKE

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Part 2


Tak terasa, sudah seminggu Maara tinggal di Bandung. Dan ini merupakan hari pertama Maara bergabung dengan kelas kuliner. Beberapa hari belakangan ini memang Maara gunakan untuk mencari tahu tentang kelas itu, yang ternyata tiap siswanya diperbolehkan mengambil kelas macam kuliner tertentu; Maara memilih pastri.
Ya, ini Senin keduanya di Bandung. Maara sudah memakai seragam kebanggaan BIS: blazer biru laut dalam—dengan kemeja putih di dalamnya—rok pendek rimpelnya senada, tak lupa dengan pin BIS di kerah kemeja. Maara pun dengan segera merapikan rambutnya, memakai kaus kaki knee-length hitam, dan menalikan oxford coklatnya.
“Gawat, udah jam setengah tujuh! Shylaaaah! Tunggu!”
“Buruan, kak Maara! Semalem ngapain aja sih sampe telat bangun gini. Untung BIS nggak ada upacara hari ini.”
“Ada urusan. Kakak sarapan di mobil kamu aja deh, nggak papa kan? Keburu telat.”
Maaf, Shyl, batin Maara. Aku nggak bisa kasih tau kamu kalau aku bakalan masuk kelas kuliner. Nggak sekarang.

***

“Pagi semua. Hari ini kita kedatangan satu member baru, Lamaara Aradhana.
Dia akan bergabung dengan kelas pastri. Maara, untuk lebih jelasnya, kamu bisa bertanya dengan kelompok kerjamu, oke?” ujar Ms. Rika, nada bicaranya ringan dan cepat, walau begitu beliau sangat ramah. Maara tersenyum, berjalan menuju kelompoknya.
            Kelompok Maara tergabung dari beberapa anak dari kelas yang berbeda, nama-nama yang bisa Maara ingat adalah: Sara, Pricil, Keenan, Aliah, dan Ren. Rainarlo Aldebaran. Oke, yang terakhir itu sebenarnya tidak ingin Maara ingat, tapi cara pandang dan caranya memperlakukan Maara benar-benar menyebalkan. Belum sempat Maara berbicara, Ren—Rainarlo—itu sudah menyemprot Maara,
            “Ini bukan tempat main-main. Kalo lo nggak niat masak, jangan gabung. Kita nggak butuh anak manja.”
            Senyum Maara seketika musnah. Matanya menyipit.
            Geez, oke Maara emang nggak sejago itu, tapi bukan berarti Ren bisa jelek-jelekin seperti tadi.
            Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Perempuan, matanya hangat dan senyumnya bersahabat. “Udah Maar, nggak usah dipikirin. Ren emang mulutnya pedes, apalagi sama anak baru. Cuekin aja. Oh iya, gue Pricil. Selamat bergabung di kelas kuliner. Semoga lo cocok sama kita-kita.” kata Pricil, tersenyum jail.
            “Well, thanks, Pricil. Maara nggak papa kok, nggak penting. Jadi, hari ini agenda kita apa aja?”
            “Hari ini, kita bakal diskusi buat acara ultah BIS, Maar. H-30 nih, dan kita dapet jatah buat menyuplai makanan buat hari itu. Seluruhnya, tentu.”
            Maara meringis. Antara excited dan ngeri membayangkannya.
            “Sorry, tapi gue nggak yakin bakal masukin dia di list koki, Cil. Kita belum liat segimana kemampuannya.” Suara dingin Ren menyela pembicaraan mereka.
            “Ren!” seru Pricil, protes.
            “Cil, itu acara gede! Tanggung jawab juga!” dengus Ren, dan ia kembali melanjutkan, “Heh anak baru, besok, tepat sepulang sekolah, tunjukin apa kemampuan lo. Buat masakan, apalah yang bisa lo buat tanpa bikin korban berjatuhan, gue tunggu disini. And fyi, gue leader sekaligus penanggung jawab bagian masakan di hari itu, jadi gue yang nentuin lo layak nggak masuk kandidat koki.”
            “Oke, ketua atau apalah itu, besok Maara bakal datang dan Maara bakal tunjukin kalau Maara nggak seremeh itu!” balas Maara, tidak terima dia disepelekan.
            “Kita liat besok.” kata Ren, tanpa melihat Maara sedikitpun. Gantian Maara mendengus.
            Gondok.

***

            Malamnya, Maara bingung setengah mati. Hari pertamanya di kelas kuliner memuakkan, tidak semua, bagian yang ada Ren-nya yang memuakkan, tentu. Sekarang, kamar mungilnya bak tersapu La Nina, semua barang berceceran disana-sini. Satu yang ia cari: catatan resep dari neneknya. Walaupun kesal, sebenarnya kata-kata Ren memukul telak Maara, ya, Maara tidak bisa masak. Maara tahu itu. Tapi karena itulah ia ingin bergabung dengan kelas kuliner, selain karena neneknya pula. Kalau gini sih, bukan ilmu yang didapat, disemprot iya, dengusnya, kesal. Setelah menemukan notes resep neneknya itu, Maara menghempaskan tubuhnya ke ranjang, jemari lentiknya menjelajah halaman demi halaman, mencari resep yang cukup sederhana dan bisa dibuatnya tanpa praktek dahulu, mengingat waktunya yang tidak memungkinkan. Tapi, harus resep yang tetap bisa menonjok perut Ren dan membuat mulutnya bungkam.
            “AHAAAA!” serunya, menegakkan badan. Maara teringat satu-satunya resep yang dikuasainya: Red Velvet Cake. Nenek memang sangat sering membuat cake itu, dan hampir tiap saat Maara ikut membantu sang Nenek membuatnya. Sederhana, tapi cukup nikmat. Setidaknya, Maara yakin Red Velvet buatannya tidak akan mengecewakan.
            Liat siapa yang akan tertawa besok, Rainarlo Aldebaran.

***

            Sepulang sekolah, White Building.

            Maara sudah mulai mengocok adonan sejak tadi. Panggangan di pojok ruangan juga sudah disetelnya tepat 350 derajat Fahenheit. Adonan merah marunnya kini sudah siap dituangkan dalam loyang bulat diameter 22 cm. Segera, Maara memasukkan loyang-loyang itu dengan hati-hati ke dalam panggangan.
            Selagi menunggu adonannya matang, kurang lebih 20 menit lagi, Maara menyiapkan cream cheese frosting-nya. Nenek sering menasehatinya, ingat Maara, perbandingannya 2:1 untuk fresh cream dengan cream cheese. Tentu Maara tidak akan lupa. Dengan tangannya yang sedikit kagok memegang hand mixer, ia mulai mengocok creamnya. Setelah selesai, ia mengambil kue yang, ah, untunglah, matang tepat pada waktunya, menunggu sebentar agar tak terlalu panas, dan menyusunnya menjadi tumpukan layer tipis yang sarat cream. Layer merah marun terlihat kontras dengan creamnya yang putih lembut. Diatas cake, Maara menabur almond sangrai yang diiris tipis.
            Maara berhenti sejenak untuk mengambil nafas, kemudian mengamati hasil karyanya. Bagus, pikirnya. Dipotongnya satu dan ditaruhlah kue itu diatas piring kecil, disodorkannya kepada Ren. Mata Ren menyipit. Walau begitu, Ren tetap menerimanya. Setelah satu suapan, Ren kembali meletakkan piring itu ke meja pantry.

            “Oke. Lo masuk.”

***

            Setelah melewati minggu-minggu sibuk bersama kelas kuliner yang menyebalkan (tentu Ren biang keroknya) dan menyenangkan; menyiapkan ini-itu yang mereka butuhkan untuk praktek, mencicipi dan menyeleksi masakan apa saja yang akan mereka hidangkan, akhirnya hari yang dinanti tiba juga. Hari ulang tahun BIS.
11 Oktober, semua berjalan lancar, dan penanggung jawab masakan sukses besar. Maara benar-benar excited, tidak menyangka Red Velvet Cake-nya menjadi primadona. Dan untuk pertama kalinya, Ren tersenyum pada Maara, mengacungkan jempolnya. Dari kejauhan, dia bisa menangkap apa yang diutarakan Ren:
“Kerja bagus, Lamaara Aradhana.”

***

            Bertahun-tahun telah berlalu. Sekarang, Maara tidak menyangka bisa kembali menginjakkan kaki disini, bahkan bersekolah. Ya, sekarang Maara resmi menjadi salah satu murid CIA, Culinary Institute of America.
Kembali ke Amerika, setelah tahun-tahun sendunya berlalu, membangkitkan sedikit luka di hati Maara. Sejak Nenek meninggal, 4 tahun lalu, dia kembali ke Indonesia untuk mencari ketenangan dan akhirnya menemukan bahwa passion-nya tidak jauh-jauh meninggalkan sang nenek: memasak. Maara harus benar-benar berjuang untuk membujuk orangtuanya agar mengizinkan Maara menginjakkan kaki di Amerika lagi. Selama ini, orangtuanya dan Shylah, hanya mengkhawatirkannya jika Maara harus tinggal lebih lama di Amerika; sendirian.
Maara tidak menyangka, resep dari neneknya dan makanan favoritnya sejak kecil bisa menuntunnya sampai kesini. Oh, dan jangan lupa, thanks to Rainarlo Aldebaran, cecunguk satu itu juga berjasa besar, memaksanya untuk kembali mengingat-ingat dan memasak Red Velvet Cake.
Maara akan kembali berjuang. Ia ingin mewujudkan impian sang nenek, yang kini juga menjadi bagian dari impiannya.
Seperti kata neneknya, masakan tidak akan mengkhianati kokinya.

***

fin

           

Part 1: Lamaara Aradhana

RED VELVET CAKE

----------------------------------------------------------------------------------------------------

Part 1


Good morning, Bandung!” seru seorang gadis. Seruannya sontak membuat beberapa pasang mata menatapnya dengan bingung. Menyadari volume suaranya yang berlebihan, sang gadis hanya membalasnya dengan senyum, tanpa rasa bersalah sedikitpun. Seharusnya, setelah kurang lebih 20 jam perjalanan udara yang baru saja ia tempuh menimbulkan efek jetlag. Gadis itu harus melakukan beberapa kali transit (Bayangkan, dari Bandara Dulles-Los Angeles-Narita-Changi-Soetta-sampai akhirnya, Bandung!), yang tentu saja menguras banyak energi. Apalagi, selama setengah perjalanan ia habiskan dengan menangis. 
Gadis itu, Lamaara Aradhana. Entah sudah berapa tahun berlalu sejak terakhir kali Maara menginjakkan kakinya di Bandung. Selama ini, dia menghabiskan masa kecilnya di Virginia, Amerika Serikat, bersama sang nenek. Hidup jauh terpisah dari orangtuanya membuat Maara terbiasa mengurus dirinya sendiri, dan tentu saja, menjaga neneknya yang sangat ia sayangi. Toh, tinggal sama Mama-Papa keadaannya nggak akan jauh beda. Mereka pasti sibuk ngurusin kerjaan, pikir Maara. 
Tapi semandiri apapun Maara, ia benar-benar merindukan rumah yang penuh kehangatan dari orangtua dan adiknya, Shylah Aradhana. Walaupun terpisah jarak (jarak ribuan kilometer dan umur), bukan berarti memisahkan kedekatan mereka. Maara dan Shylah selalu keep in touch, lewat Yahoo! Messenger, Skype, bahkan iseng bertukar surat atau paket. Seperti saat Valentine lalu, Maara mengirimkan floral dress Topshop untuk Shylah.
Sambil mendengarkan For Pessimist, I’m Pretty Optimistic - Paramore lewat iPod touch-nya, Maara berjalan, menarik 2 koper besarnya menuju pintu keluar Bandara Internasional Hussein Sastranegara. Disana, dia melihat seorang  gadis memakai dress floral Topshop yang tak asing. Tepat setelah itu, sang gadis menolehkan kepalanya yang mungil dan melihatnya.
“Kak Maara!” seru sosok gadis semampai, rambut hitam lurusnya yang digerai teracak dihembus angin tatkala ia berlari menuju Maara.
“Shylah! Finally, i’m home!” seru Maara, tak kalah heboh, memeluk Shylah dengan sayang.
Yes, and welcome to Bandung! Kakak nggak jetlag, nih? Kok masih semangat aja?” Shylah tertawa.
“Harus semangat dong! Tapi... sekarang aja rasanya aku pengen balik ke rumah Nenek, kalo-kalo nggak harus nempuh perjalanan selama itu. By the way, mana Mama dan Papa? Mereka nggak ikut jemput Maara?”
Shylah terdiam. Dalam raut mukanya tersirat sedikit kesedihan.  “Yah, Kakak tau kan Mama-Papa akhir-akhir ini sibuk sekali. Sebenarnya tadi pagi mereka udah siap-siap jemput Kakak, tapi kemudian ada meeting mendadak yang nggak bisa mereka tinggalin. Yuk Kak, kita pulang, biar Shylah bantu bawa kopernya.”
Geez, batin Maara gondok. Bahkan, demi jemput Maara aja Mama Papa nggak sempet?

***

            Walau masih sedikit kesal, senyum manis terlukis di bibir kecil Maara. Ia tidak ingin merusak hari pertama sekolah di Bandung. Pagi-pagi sekali, Maara sudah siap memakai seragam sekolahnya di Virginia dulu, kemeja pendek putih berdasi dengan bordir keemasan di sakunya. Rok highwaist pendek merah hatinya sedikit berkibar diterpa angin. Rambutnya yang ikal kecoklatan digerainya begitu saja. Tak lupa, ia memakai topi pet marun, serta stocking putih dan sepatu oxford hitam. Shylah sudah berangkat mendahuluinya, ada jam ke-nol katanya. 
           Maara menghela nafas. Bahkan di hari pertama Maara harus berangkat sendirian, batinnya. Diraihnya tas bahu Topshopnya, dan dengan setengah berlari, Maara bergegas menuju mobil hitam yang sudah menunggunya.

 ***

            Waktu telah berlalu, Maara sudah selesai mengelilingi sekolah dengan beberapa Pengurus Kesiswaan.
            Tidak ada yang lebih menarik perhatiannya selain bangunan itu, yang dikelilingi kaca dan dinding putih. Walaupun terlihat mendominasi, tidak ada kesan kotor sedikitpun. Bangunan dua lantai—sepanjang yang bisa Maara lihat—lantai pertama berupa foodcourt, dengan sofa-sofa coklat susu yang terlihat nyaman. Sedangkan di lantai dua, entahlah, Maara tidak sempat mendongak untuk melihat karena para Pengurus Kesiswaan harus menyelesaikan tugas utamanya dulu: mengenalkan Maara tentang seluk-beluk area BIS ini.
            Damita Askanah, salah satu Pengurus Kesiswaan, sedari tadi menahan senyum menyadari Maara yang seringkali kecolongan curi-curi pandang ke bangunan putih itu. 
            “Lamaara, ikut aku yuk. Hari ini kamu belum ada kelas kan?”
            Maara mengernyit. “Kita mau kemana, Kak Damita?”
            “Ke tempat yang bikin kamu nengok-nengok ke belakang terus.”
            Maara tertawa.
“Yah, segitu jelasnya ya Maara bisa ditebak? Kalo kesana, Maara mau banget!”
Giliran Damita yang tertawa. “Yaudah, buruan yuk. Ntar kalo kelamaan disini, kamu bisa nggak puas ngerecokin orang-orang disana.”

***

Sampailah mereka berdua di depan bangunan putih itu. Dari luar, sudah tercium aroma penganan yang sanggup membuat perut Maara bergolak dan liurnya menari-nari, menyusup keluar dari mulutnya. Dengan cepat dan bersemangat, Maara mengekori Damita memasuki gedung tersebut.
Dilihat-lihat, ternyata dindingnya dibuat dari bata yang diaci dan dilapis semen putih, sehingga membuat pola khas menonjol di keseluruhan permukaannya. Lantainya dilapisi parket, serat kayu kecoklatan memberi nuansa hidup dan hangat. Lalu, berjejerlah kedai di setiap sisinya, kurang lebih berukuran 2x2 meter persegi, terdapat tudung coklat dan nama kedai dari ukiran kayu diatasnya. Di tengah ruangan, kursi dan meja bergaya vintage berjejer rapi.
“Sebenarnya gedung ini adalah gedung khusus untuk siswa jurusan kuliner, Maar, yang digabung sama cafetaria. Cafetaria di bawah, kelasnya diatas. Kelas kuliner sendiri termasuk salah satu jurusan yang paling diminatin di BIS, lho. Selama 3 tahun pengajaran, kalian nggak cuma diajarin masak tapi juga bisnis kuliner dan food-photography. Dan sebelum lulus kalian harus bikin project khusus. Semacam persiapan kuliah gitu studinya. Rada berat sih, karena kamu harus dobel sama kelas primer, tapi asiknya dijamin!” ujar Damita, masih terkikik melihat tampang excited Maara.
“Hmm, pantesan di angket tadi ada 2 poin pilihan kelas, jadi ini maksudnya ya Kak. So next, shall we go upstairs? Maara boleh lihat kelas kulinernya, Kak?”
“Yuk. Aku denger mereka lagi garap project ultah sekolah. Mungkin Maara tertarik?”
Dan mereka berduapun naik ke lantai dua. Disana, mata Maara benar-benar dimanjakan. Oven-oven besar, meja luas, rapi dan bersih. Benar-benar nyaman. Maara sempat melihat beberapa siswa lalu-lalang menggunakan chapron coklat muda dengan bandana atau tutup kepala.
Maara sudah menyusun jadwal untuk esok pagi: menandatangani angket penjurusan dengan tanda centang besar di kotak kelas kuliner. Dengan mantap.

***

to be continued



Long, long, ago



Yeah, after a long, long, long hiatus, finally its me again . I've been physically and mentally busy; keeping my mind work and imagine all the time to distracted so I'm not drowning in sadness.


Actually, now I'm on project to post some short stories I made since I was in junior high... Gotta be lots of fun, and exciting in here and there.. Well, I'll upload soon after this post.





Yours,


Nadya.

I'm going back to the start.

Sedikit tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini bisa begitu rindu masa-masa itu. Yes, junior high. There's too much to share, too much memories. Evertime and everywhere. Especially, him.
Entah kenapa, aku masih bisa mengingat beberapa kejadian yang.... dulu sekali, di setiap waktu, kupikir bakal terjadi. Betapa waktu itu aku wasting time banget, tapi dalam jangka satu tahun, segalanya berbalik dengan cepat. And we're getting closer, and closer.

i still remember how you dancing in the rain, with your fooball team. your dark blue jersey, black tumbler. it was December.
i still remember the first time you hold my hand and says, "Trust me."
i still remember how bad you worried when i'm sick
i still remember you're the only one i can stay up late at night to have a long, dearing call
i still remember you teach me history, and i teach you math
i found it hard to debate you
i still remember you give me that Manchester United t-shirt as my birthday gift
i still remember we had a not-so-called double date on saturday night
i still remember the last time we meet, you cares my hair.

Terimakasih untuk tiga tahunnya, hujan-bintang, Troy. You'll never be replaced in my heart.

May 12, 2012

"Close your eyes and make believe this is where you want to be. Forgetting all the memories, try to forget love cause love’s forgotten me. Well hey, hey baby, it’s never too late pretty soon you won’t remember a thing. And I’ll be distant, the stars reminiscing.Your heart’s been wasted on me."

I should have known. This is the end of our vain journey. Just stop wasting your time around. You gonna find someone better, and it isn't me fits you perfectly. 

May Giveaway

Who doesn't loves giveaway??? Let's join Nixie Pyrena May Giveaway! 


Win this shopping vouchers at June+Julia for TWO luckiest people (hope me the lucky one) by following this rules:




To join this giveaway: 
1. Follow The Endless Wishlist via GFC and Twitter HERE (She's going to mention your name on twitter if you are one of the lucky winner!) 
2. Leave a comment below her blog, please include your name, twitter account and email (if you dont have twitter, just put your name and email) 


For extra entries: 
1. Tweeting about this giveaway, TWEET: "Join The Endless Wishlist Giveaway to win Rp 250,000 or $25 shopping vouchers at June and Julia ! http://nixiepyrena.blogspot.com/2012/05/brown-june-and-julia-shopping-vouchers.html cc: @EndlessWishlist" (+1 entry per tweet) 
please don't forget to mention her twitter @EndlessWishlist so she can add more entry for you. You can tweet as many as you want :) 
2. Share this giveaway on your blog (please give her the link of your post in the comment so she can check it) (+1 entry) 

3. Follow The Endless Wishlist Bloglovin HERE (+1 entry) 

This giveaway will be CLOSED on 22nd of May 2012.

So, what are you waitin' for? JOIN NOWW!